Oleh: Wina Fatiya
Lebaran tinggal menghitung hari. Antara sedih dan bahagia di penghujung Ramadan ini.
Sedih karena Ramadan akan segera usai. Artinya kesempatan berkhidmat ibadah dengan berkali lipat pahala akan berakhir. Begitupun dengan pintu-pintu neraka akan terbuka kembali. Pintu surga akan tertutup dan menyeleksi kembali serta setan-setan akan lepas belenggunya.
Sedangan bahagia karena lebaran vibes sudah sangat kentara. Mudik dan persiapannya, silaturahmi bertemu orang tua dan sanak saudara, berkumpul dengan keluarga besar berbagi cerita. Sungguh suatu kondisi yang sangat dirindukan.
Suasana desa yang masih asri dengan deretan pohon yang tinggi berwarna hijau. Suara gemerincik air langsung dari sumber mata airnya. Udara sejuk nan menyegarkan di desa sungguh sangat menenangkan.
Makanan khas desa semisal dages, hanya ditemukan di sana. Pertama kali aku mencoba dages, rasa di lidah tak tentu!
Dan yang paling aku rindukan adalah suasana ketika kami berkumpul di rumah. Bersama-sama dengan sanak sudara dan handai tolan. Mengobrol, menikmati beragam panganan asli dari daerah. Sungguh kemenangan yang sangat dirindukan.
Namun sayang sungguh sayang, garis finish itu kian mendekat tapi ibadah kebanyakan kita malah merosot drastis. Pemikiran kita sudah tersapu oleh bayang-bayang Idulfitri.
Kekhidmatan di akhir Ramadan justru teralihkan oleh suasana kemenangan yang belum tentu kita menangkan. Persiapan menyambut kemenangan justru lebih kita utamakan dibanding menyempurnakan kemenangan itu sendiri.
Apalagi Lebaran pasca pandemi membuat semua orang euforia untuk menuntaskan hasrat terpendamnya. Selama kurang lebih tiga tahun ini tidak bisa menikmati Lebaran sebagaimana biasa.
Sekali lagi, kita belum tentu menjadi orang yang menang. Mengapa bisa seperti ini? Teringat suatu hadis bahwa kondisi kita justru ditentukan oleh akhirnya. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607)
Ketika membahas hadis ini, Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas.
Dalam konteks Ramadan dan Idulfitri, justru beberapa hari ke depan adalah penentunya. Janganlah menjadikan Idulfitri itu sebagai hari kemenangan hampa, yaitu hari kemenangan dalam ketidakoptimalan di akhir Ramadan.
Astaghfirullah. Ada sebuah nasihat indah dari Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda, “Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya.” (HR. Ahmad)
Terkadang kita terkagum dengan amalan Ramadan di hari-hari sebelumnya. Saat sudah khatam Al-Qur'an, saat sudah bersedekah yang banyak, saat sudah meraih capaian-capaian yang kita targetkan.
Namun kadang kita lupa bahwa kita belum sampai ke garis finish. Masih ada waktu memaksimalkan semua amal. Masih ada waktu menambah Tolawah, bersedekah, menggencarkan ibadah dan lainnya.
Bukan saatnya berhenti dan evaluasi. Justru inilah saatnya memacu kembali semangat untuk beramal. Amal yang akan menyempurnakan kemenangan itu.
Satu hal yang paling mencolok, semua ini karena kondisi budaya masyarakat kita yang justru lalai di akhir Ramadan. Lalai karena mudik, lalai karena membuat kue, lalai dengan busana Ramadan, lalai dengan rencana silaturahmi dan sebagainya.
Astaghfirullah. Aku sangat ingat dulu ada perbincangan seputar akhir Ramadan. Di negeri Arab sana, orang-orang justru makin memacu ibadahnya di bulan Ramadan sampai akhir, benar-benar akhir Ramadan. Di sana tidak ada budaya mudik, membuat kue atau menyiapkan busana hari raya.
Justru setelah Idulfitri, mereka akan istirahat. Bak orang yang sudah lelah berperang dan menang, mereka akhirnya bisa bernapas lega. Mereka tidak hampa menerima kemenangan itu. Itulah kondisi maksimal beramal sampai ujung atau akhir.
Sekali lagi astaghfirullah. Kita masih terjebak dengan mindset budaya yang tidak Islami. Budaya yang melalaikan akhir Ramadan.
Betapa banyak orang yang meninggalkan i'tikaf karena harus mudik. Atau ia sudah ada di kampung halaman yang membuatnya enggan atau tidak kondusif untuk I'tikaf.
Betapa banyak ibu-ibu yang lebih suka menyiapkan printilan Lebaran dibandingkan I'tikaf. Padahal pahala lailatulqadr akan diraih saat beri'tikaf.
Sungguh rugi. Jika demikian halnya, kita hanya akan mereguk kemenangan hampa. Kemenangan yang tidak sepenuhnya buah dari kerja keras.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
發佈留言